Selasa, 21 Oktober 2008

Waspadah Tsunami Di Sulawesi Tenggara

Tsunami adalah gelombang yang disebabkan oleh gempa bumi dengan pusat gempa di kawasan laut. Sifat utama dari tsunami ini dapat dibedakan atas 2 yaitu untuk perairan dalam (>200m) dan untuk perairan dangkal (<200m). Pada perairan dalam tergantung dari panjang gelombang yang relative panjang, tinggi gelombang relative rendah dan kecepatannya tinggi sedangkan untuk perairan dangkal, panjang gelombang relative pendek, tinggi gelombang relative tinggi dan kecepatan rendah. Untuk panjang gelombang lagi sangat tergantung dari kedalaman laut, bentuk dasar laut serta bentuk pantai dan lain sebagainya.
Wilayah Indonesia merupakan salah satu wilayah di dunia yang berpotensi tinggi terkena bencana tsunami. Hal ini disebabkan karena posisi Indonesia yang terletak dipertemuan 3 lempeng bumi, yakni lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia, dan lempeng pasifik, yang menjadikannya sebagai wilayah aktivitas gempa tektonik. Dan sejarah menunjukkan bahwa 90% tsunami di Indonesia dibangkitkan oleh gempa taktonik.
Beberapa bencana tsunami yang pernah terjadi di Indonesia antara lain propinsi maluku tahun 1965 di seram dan 1998 di Taliabu; Sulawesi selatan tahun 1967 di Tinambung dan 1969 di Majene; Sulawesi tengah tahun 1968 di Tambu dan 1996 dai Palu; Nusa Tenggara Timur tahun 1977 di sumba; 1982 di larantuka dan 1992 di Flores; Jawa timur tahun 1994 di Banyuwangi dan Irianjaya tahun 1996 di Biak. Tsunami di Flores tahun 1992 merupakan salah satu tsunami yang menyebabkan korban dan kerusakan paling hebat. Tercatat 1690 orang meninggal dunia dan 18.000 tempat tinggal hancur. Tsunami ini dibangkitkan oleh gempabumi dengan magnitude 7,5 SK, pusat gempa sekitar 35 km baratdaya Maumere.
Gelombang tsunami biasanya merupakan gelombang panjang bergerak secara tunggal maupun dalam group dari daerah pembangkitan ke segala arah menuju pantai. Bentuk gelombang tsunami sangat dipengaruhi oleh faktor penyebab terjadinya. Pada gelombang tsunami yang diakibatkan oleh dislokasi misalnya, bergeraknya permukaan bumi kedalam (turun) berakibat pada gelombang tsunami yang mempunyai lembah lebih besar daripada puncaknya. Sebaliknya pergerakan permukaan bumi ke atas (timbul), menyebabkan gelombang tsunami yang mempunyai puncak tinggi yang mungkin diikuti oleh lembah yang relative kecil. Bentuk gelombang tsunami akan lebih kompleks jika kejadian dislokasi tidak sekaligus tetapi bertahap dengan arah dan kecepatan yang bervariasi.
Tinggi gelombang tsunami ketika mencapai pantai dipengaruhi terutama oleh factor-faktor jarak pantai terhadap pusat pembangkitan tsunami dan morfologi pantai. Dalam kaitannya dengan morfologi pantai, tampang vertical maupun horizontal sama-sama memberikan pengaruh yang signifikan. Tampangvertikal, umumnya direpresentasikan sebagai kemiringan (slope) pantai, memberikan pengaruh dalam hal gesekan dasar pantai terhadap massa air gelombang. Masih dalam kaitan tampang vertical, komposisi dan jenis tutupan lahan juga memiliki pengaruh yang besar terhadap perambatan tsunami di pantai. Bangunan, tanaman pantai, tambak, atau lahan pertanian,masing-masing akan memberikan efek redaman yang berbeda. Demikian pula kerapatan bangunan atau tanaman tersebut. Sementara itu, tampang horizontal sangat berpengaruh terhadap arah rambatan dan konsentrasi energi gelombang. Pada morfologi pantai yang menyempit, seperti teluk dan sungai, akan terjadi peningkatan kecepatan dan elevasi muka air yang signifikan karena debit yang sama tiba-tiba harus menjalar melalui tampang aliran yang menyempit. Setelah terbentuk, gelombang tsunami akan bergerak menjalar ke segala arah yang dimungkinkan.
Sulawesi Tenggara terletak jauh dari pengaruh lempeng Indo-Australia (Zone Subduction active) akan tetapi, apabila terjadi gempa tektonik pada zona tersebut dan menimbulkan tsunami memungkinkan dapat berimbas pada daerah-daerah yang berhadapan langsung dengan laut terbuka diantaranya adalah Kabupaten Wakatobi, Pesisir timur pulau buton, Pulau Sioumpu, Kadatua, Batu atas, Batauga dan sekitarnya, Pesisir selatan pulau muna, Pesisir selatan, timur dan barat pulau kabaena, Boepinang dan sekitarnya, Pesisir barat Kolaka, Kolaka utara, Pesisir timur dan utara pulau Wowonii, Pesisir pantai Toronipa, Pantai laasolo hingga pantai asera.
Mengingat posisi sultra yang terdapat beberapa sesar antara lain sesar wowonii, sesar lasolo, sesar kolono, sesar kolaka, dan beberapa lainnya di pulau buton dan kabaena yang sewaktu-waktu dapat aktif. Tetapi bila dihubungkan dengan pemicu terjadinya tsunami, berdasarkan teori, gelombang tsunami akan terjadi salah satunya karena gempa tektonik yang berpusat dilaut dengan kekuatan > 6,5 SR. Gempa tektonik yang terjadi di sultra tidak pernah lebih dari 6 skala richter.
Gelombang tsunami telah banyak menelan korban harta benda dan jiwa. Sebagai suatu bencana alam, tsunami terjadi tanpa dapat dicegah oleh manusia. Oleh karena itu, usaha yang dilakukan oleh manusia hingga kini adalah menghindarinya maupun dengan membuat berbagai benteng perlindungan untuk mengamankan diri. Salah satu usaha untuk mengurangi dampak kehancuran dari tsunami dengan melakukan perlindungan daerah pantai salah satunya dengan mangrove.
Di Indonesia, tidaklah mudah melakukan pencegahan bencana tsunami dengan membangun tembok laut atau breakwater untuk keseluruhan pantai seperti di jepang mengingat adanya keterbatasan dana. Pembangunan tembok laut dan breakerwater ini biasanya memerlukan biaya yang sangat besar. Disamping itu juga mengakibatkan terputusnya ekosistem darat dan laut bagi hewan atau tumbuhan yang hidup di daerah pesisir. Penduduk yang tinggal dibelakang bangunan merasa tidak nyaman, baik dari segi kemudahan akses maupun dari segi psikilogis dimana penduduk merasa dipenjara.
Pemanfaatan pola-pola vegetasi dapat digunakan sebagai pelindung pantai untuk mereduksi limpasan tsunami. Sehingga diharapkan penataan pola-pola vegetasi dapat berfungsi ganda sebagai unsur keindahan juga sebagai pelindung untuk mereduksi limpasan tsunami. Penggunaan vegetasi mangrove dan pohon kelapa dapat digunakan disesuaikan dengan karakteristik tanah setiap kawasan. Selain itu ada beberapa jenis vegetasi/tanaman yang dominan dan mudah diketemukan pada daerah pesisir antara lain:
1. Kelapa (Cocos nucifera) juga berfungsi sebagai elemen pengarah
2. Cemara laut (Casuarinas equisetifolia) juga berfungsi sebagai elemen pengarah.
3. waru laut (Hibiscus tiliaceus) juga berfungsi sebagai elemen peneduh
4. Ketapang (Terminalia cattapa) juga berfungsi sebagai elemen peneduh

Efektivitas mangrove dalam meredam tsunami berkaitan dengan jenis pohon, kerapatan rumpun, lebar rumpun pada arah gelombang datang, susunan tanaman dalam rumpun dan kelenturan tanaman. Berdasarkan hasil pengujian Istiyanto,dkk, menunjukkan bahwa rumpun mangrove (Rhizophora) memantulkan, meneruskan dan menyerap energi gelombang tsunami. Ketika tsunami mencapai di perairan pantai yang berpelindung mangrove, tsunami akan menerobos celah-celah akar, batang, ranting dan daun mangrove, sehingga tsunami akan diredam. Secara umum keberadaan mangrove (Bakau) mengurangi besarnya limpasan tsunami di pantai. Area mangrove setebal 10 cm menurunkan tinggi limpasan rata-rata sebesar 2,3%, sedangkan area mangrove setebal 20cm mengurangi limpasan sebesar 5,08%.
Akhirnya, dengan memahami fenomena alam ini maka kita akan mampu bersahabat dengannya. Kiranya tsunami tidak lagi menjadi momok yang menakutkan tetapi mampu untuk dikenali, dipahami, dan dicarikan cara yang tepat untuk mengendalikannya atau menghindar darinya. Apapun yang telah dirasakan dan telah dilalui, menjadi kewajiban kita memanfaatkan semua kemampuan yang kita miliki untuk selalu berjaga-jaga

Tidak ada komentar: