Senin, 22 April 2013

PERUBAHAN IKLIM DAN PEREMPUAN NELAYAN



Sejak kecil kita mengingat syair lagu ini, “Nenek moyangku seorang pelaut…” Cerita tentang nenek moyang kita yang merupakan seorang pelaut ulung, yang berlayar menggarungi berbagai penjuru dunia, sungguh sangat mengundang decak kagum. Lautan yang sangat luas dan ganas, dapat mereka taklukan. Sebagian besar pelaut berprofesi sebagai nelayan. Mereka sangat ahli dalam memprediksi cuaca. Namun, kini kondisi telah berubah, cuaca selalu berubah tak terduga, sehingga nelayan sangat sukar lagi memprediksi waktu untuk melaut, akibat perubahan iklim.
Secara singkat iklim bisa dikatakan sebagai rata-rata dari cuaca dan dipengaruhi oleh kesetimbangan panas di bumi. Naik turunnya radiasi matahari berpengaruh terhadap naik turunnya suhu bumi. Dan aktivitas manusia turut memberikan berkontribusi terhadap naik turunnya suhu bumi tersebut. Jika diakumulasi secara keseluruhan, ternyata aktivitas manusia yang paling banyak memberikan kontribusi terhadap peningkatan suhu bumi dibandingkan kontribusi faktor-faktor yang lain.
Aktivitas manusia yang dapat meningkatkan suhu bumi yakni pembakaran bahan bakar seperti batubara, minyak bumi dan gas alam, yang melepaskan karbondioksida dan gas-gas lainnya ke atmosfir. Dengan semakin meningkatnya konsentrasi gas-gas tersebut di atmosfer, maka semakin banyak panas yang terperangkap di bumi. Akibatnya, Kondisi iklim tidak lagi pasti dan tidak stabil.
Dampak nyata dari perubahan iklim terhadap laut, yaitu kenaikan perubahan air laut. Ini jelas sangat mempengaruhi kita (Indonesia) yang merupakan 2/3 luas negara adalah lautan. Dan mayoritas penduduk kita yang tersebar di wilayah pesisir. Penduduk yang tersebar di wilayah pesisir sebagian besar berprofesi sebagai nelayan.
Pengertian nelayan menurut ensiklopedia Indonesia (1990) adalah orang yang secara aktif melakukan kegiatan menangkap ikan, baik secara langsung (seperti menebar dan pemakai jaring) maupun secara tidak langsung (seperti juru mudi perahu layar, nakhoda kapal ikan bermotor, ahli mesin kapal, juru masak kapal penangkap ikan) sebagai mata pencaharian. Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004, nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Jadi dapat kita simpulkan bahwa yang dimaksud dengan nelayan adalah orang yang bekerja menangkap ikan.
Perubahan iklim yang terjadi saat ini, banyak membawa dampak merugikan bagi nelayan, seperti rusaknya ekosistem terumbu karang dan mangrove. Rusaknya terumbu karang mengakibatkan berkurangnya stok ikan, karena terumbu karang berfungsi sebagai tempat pemijahan dan bertelur berbagai jenis biota laut termasuk ikan. Sementara rusaknya ekosistem mangrove berdampak pada abrasi pantai, karena tidak ada penahan gelombang dan peningkatan pencemaran dari sungai ke laut, karena tidak ada lagi penyaring polutan, dan berbagai biota laut banyak yang musnah.
Setelah dilanda berbagai kerusakan di wilayah pesisir, perubahan iklim juga membawa dampak pada perubahan cuaca yang ekstrim, sehingga nelayan semakin sulit menentukan kapan sebaiknya melaut, karena musim ikan semakin sulit diprediksi. Sebelumnya, jumlah hari nelayan melaut sekitar 240-300 hari setahun, kini berkurang hanya sekitar 160-180 hari. Akibatnya, pendapatan nelayan pun berkurang hingga berkisar 50-70%. Kurangnya pendapatan nelayan, akan berpengaruh pada pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Dan ini akan berimbas pada perempuan nelayan.
Perempuan pesisir atau perempuan nelayan adalah suatu istilah untuk perempuan yang hidup di lingkungan keluarga nelayan, baik sebagai istri maupun anak dari nelayan pria. Nasib mereka selama ini kurang banyak menyentuh perhatian kita dan peran mereka tidak banyak terekspos dalam berbagai media. Padahal, kaum perempuan nelayan inilah yang paling rentan terhadap berbagai bencana. Sebagaimana pernyataan Ahmed Obaid, Direktur Eksekutif UNFPA, bahwa setiap bencana, baik karena dampak perubahan iklim atau tidak, menelan korban perempuan lebih besar daripada laki-laki.
Sebelum terjadinya perubahan iklim, di wilayah pesisir, persoalan sosial yang paling dominan adalah masalah kemiskinan. Setelah terjadinya perubahan iklim, persoalan menjadi lebih luas dan memberatkan terutama perempuan nelayan. Saat ini data terbaru mengenai kemiskinan nelayan belum diketahui secara pasti. Namun, dari data yang tersedia tahun 2002, tingkat kemiskinan masyarakat pesisir sebanyak 32%. Kemungkinan angka kemiskinan tersebut mengalami peningkatan. Karena tahun 2005 dan 2008 telah terjadi kenaikan harga BBM yang akumulatifnya bisa mencapai 150%. Padahal biaya operasional untuk melaut, sekitar 40-50% adalah BBM.
Sebenarnya perubahan iklim bukanlah sebuah krisis baru, tetapi merupakan akumulasi dari model pembangunan yang salah selama ini. Pembangunan lebih berorientasi pada mencari keuntungan sebesar-besarnya, tanpa mempertimbangkan dampak yang ditimbulkannya, seperti kerusakan lingkungan. Kerusakan lingkungan, kemiskinan, dan perubahan iklim, menambah deretan penderitaan di wilayah pesisir terutama perempuan nelayan.
Ada beberapa faktor yang secara tidak langsung menjadi penyebab sehingga perempuan nelayan rentan terhadap perubahan iklim. Faktor pertama, kaum perempuan di keluarga nelayan umumnya terlibat langsung dalam aktivitas mencari nafkah untuk keluarganya. Awalnya mereka enggan untuk masuk dalam kegiatan produktif antara lain disebabkan oleh budaya masyarakatnya yang masih melarang perempuan untuk bekerja. Bagi mereka perempuan hanya bertugas di dapur dan mengurus anak. Namun, seiring dengan tekanan ekonomi yang semakin berat, mau tak mau perempuan nelayan turut serta untuk meringankan beban keluarganya.
Kondisi ekonomi keluarga tidak menentu disebabkan karena kaum laki-laki harus pergi melaut untuk menangkap ikan atau hewan lainnya, yang semakin jauh dan semakin lama di lautan, bahkan berbulan-bulan. Karena populasi ikan di laut sudah semakin berkurang. Ditambah lagi dengan tingginya kecelakaan kerja saat penangkapan ikan di laut. Berdasarkan data dari DFID (Department for International Development - World Fish Center) tahun 2003, diperkirakan sekitar 24.000 kematian nelayan per tahun di seluruh dunia. Semuanya semakin menambah berat beban keluarga yang ditinggalkannya, terutama perempuan.
Karena itulah, perempuan nelayan terpaksa bekerja lebih keras, bahkan ada yang turut melakukan aktivitas ke laut, seperti yang terjadi di Desa Percut Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Ada pula yang hanya melakukan kegiatan domestik seperti pengumpul kerang-kerangan, pengolah hasil ikan, dan pedagang ikan. Mereka memilih melakukan kegiatan domestik karena tidak ingin terikat jam kerja agar masih dapat melakukan pekerjaan yang utama di rumah. Jadi mereka berperan ganda, membantu mencari nafkah keluarga dan bekerja dalam rumah tangga.
Tetapi sayang, peran mereka masih terbilang kecil dalam meningkatkan pendapatan keluarga pada skala yang besar. Karena aktivitas perempuan nelayan selama dibayar rendah. Sehingga peran tersebut belum dianggap berarti sebagai penghasil pendapatan keluarga dan hanya dianggap income tambahan.
Faktor kedua, rendahnya pendidikan formal yang dimiliki oleh perempuan nelayan, bahkan kadangkala masih banyak yang buta huruf. Berdasarkan data BPS Sulawesi Tenggara tahun 2008, bahwa kualitas pendidikan laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan di masyarakat pesisir. Rendahnya pendidikan perempuan nelayan selain disebabkan karena kemiskinan, juga karena jarak tempat tinggal dengan tempat pendidikan cukup jauh.
Rendahnya pendidikan perempuan nelayan mengakibatkan ketidakmampuan untuk meningkatkan kualitasnya, sehingga inovasi dan transfer pengetahuan tidak terjadi. Ini berdampak pada cara mereka mendidik anak dan mempengaruhi persepsi anak terhadap penting tidaknya pendidikan. Jadi peran keluarga sangat menentukan pendidikan anak, karena keluarga merupakan tempat pertama anak memperoleh pendidikan, dan keluarga sebagai wadah sosial terkecil dalam masyarakat.
Faktor ketiga, ketika kondisi keluarga mengalami kekurangan, kaum perempuan nelayan juga yang bertugas mencari utangan, menggadaikan barang ke bakul, warung atau rentenir. Bahkan, kadang perempuan nelayan selalu dijadikan solusi untuk mengatasi masalah. Diantaranya, banyak nelayan yang menikahkan anak gadisnya di usia dini, supaya tanggungjawab mengurusnya beralih pada suaminya.
Jadi, dari beberapa penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa betapa besar dampak yang secara tidak langsung ditimbulkan oleh perubahan iklim terhadap perempuan nelayan.  Karena perubahan iklim tambah memperparah kehidupan keluarga mereka, yang memang sudah mengalami kemiskinan. Ada sebuah pertanyaan, “apakah karena menjadi nelayan lalu miskin ataukah karena miskin lalu menjadi nelayan?” Apapun jawabannya, yang jelas perempuan nelayan turut andil dalam berjuang untuk membantu kelurga dan menanggulangi kemiskinan tersebut, walaupun perannya masih dilihat sebelah mata. Namun, itu semua termasuk perjuangan. Perjuangan perempuan sebagai ibu bangsa…Selamat hari Ibu!