Sejak kecil kita mengingat syair lagu ini, “Nenek moyangku
seorang pelaut…” Cerita tentang nenek moyang kita yang merupakan seorang pelaut
ulung, yang berlayar menggarungi berbagai penjuru dunia, sungguh sangat
mengundang decak kagum. Lautan yang sangat luas dan ganas, dapat mereka
taklukan. Sebagian besar pelaut berprofesi sebagai nelayan. Mereka sangat ahli
dalam memprediksi cuaca. Namun, kini kondisi telah berubah, cuaca selalu
berubah tak terduga, sehingga nelayan sangat sukar lagi memprediksi waktu untuk
melaut, akibat perubahan iklim.
Secara singkat
iklim bisa dikatakan sebagai rata-rata dari cuaca dan dipengaruhi oleh
kesetimbangan panas di bumi. Naik turunnya radiasi matahari berpengaruh
terhadap naik turunnya suhu bumi. Dan aktivitas manusia turut memberikan
berkontribusi terhadap naik turunnya suhu bumi tersebut. Jika diakumulasi secara
keseluruhan, ternyata aktivitas manusia yang paling banyak memberikan
kontribusi terhadap peningkatan suhu bumi dibandingkan kontribusi faktor-faktor
yang lain.
Aktivitas
manusia yang dapat meningkatkan suhu bumi yakni pembakaran bahan bakar seperti batubara,
minyak bumi dan gas alam, yang melepaskan karbondioksida dan gas-gas lainnya ke
atmosfir. Dengan semakin meningkatnya konsentrasi gas-gas tersebut di atmosfer,
maka semakin banyak panas yang terperangkap di bumi. Akibatnya, Kondisi iklim
tidak lagi pasti dan tidak stabil.
Dampak nyata
dari perubahan iklim terhadap
laut, yaitu kenaikan perubahan air laut. Ini jelas sangat mempengaruhi kita (Indonesia)
yang merupakan 2/3 luas negara adalah lautan. Dan mayoritas penduduk kita yang tersebar
di wilayah pesisir. Penduduk yang tersebar di wilayah pesisir sebagian besar berprofesi
sebagai nelayan.
Pengertian nelayan menurut ensiklopedia Indonesia
(1990) adalah orang yang secara aktif melakukan kegiatan menangkap ikan, baik
secara langsung (seperti menebar dan pemakai jaring) maupun secara tidak
langsung (seperti juru mudi perahu layar, nakhoda kapal ikan bermotor, ahli
mesin kapal, juru masak kapal penangkap ikan) sebagai mata pencaharian. Sedangkan
menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004, nelayan adalah orang yang mata
pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Jadi dapat kita simpulkan bahwa yang
dimaksud dengan nelayan adalah orang yang bekerja menangkap ikan.
Perubahan iklim yang terjadi saat ini, banyak membawa dampak
merugikan bagi nelayan, seperti rusaknya ekosistem terumbu karang dan mangrove.
Rusaknya terumbu karang mengakibatkan berkurangnya stok ikan, karena terumbu
karang berfungsi sebagai tempat pemijahan dan bertelur berbagai jenis biota
laut termasuk ikan. Sementara rusaknya ekosistem mangrove berdampak pada abrasi
pantai, karena tidak ada penahan gelombang dan peningkatan pencemaran dari
sungai ke laut, karena tidak ada lagi penyaring polutan, dan berbagai biota
laut banyak yang musnah.
Setelah dilanda berbagai kerusakan di wilayah pesisir,
perubahan iklim juga membawa dampak pada perubahan cuaca yang ekstrim, sehingga
nelayan semakin sulit menentukan kapan sebaiknya melaut, karena musim ikan
semakin sulit diprediksi. Sebelumnya, jumlah hari nelayan melaut sekitar 240-300
hari setahun, kini berkurang hanya sekitar 160-180 hari. Akibatnya, pendapatan
nelayan pun berkurang hingga berkisar 50-70%. Kurangnya pendapatan nelayan,
akan berpengaruh pada pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Dan ini akan berimbas
pada perempuan nelayan.
Perempuan pesisir atau perempuan nelayan adalah suatu
istilah untuk perempuan yang hidup di lingkungan keluarga nelayan, baik sebagai
istri maupun anak dari nelayan pria. Nasib mereka selama ini kurang banyak
menyentuh perhatian kita dan peran mereka tidak banyak terekspos dalam berbagai
media. Padahal, kaum perempuan nelayan inilah yang paling rentan terhadap berbagai
bencana. Sebagaimana pernyataan Ahmed Obaid, Direktur Eksekutif UNFPA,
bahwa setiap bencana, baik karena dampak perubahan iklim atau tidak, menelan
korban perempuan lebih besar daripada laki-laki.
Sebelum terjadinya perubahan iklim, di wilayah pesisir,
persoalan sosial yang paling dominan adalah masalah kemiskinan. Setelah
terjadinya perubahan iklim, persoalan menjadi lebih luas dan memberatkan terutama
perempuan nelayan. Saat ini data terbaru mengenai kemiskinan nelayan belum
diketahui secara pasti. Namun, dari data yang tersedia tahun 2002, tingkat
kemiskinan masyarakat pesisir sebanyak 32%. Kemungkinan angka kemiskinan tersebut
mengalami peningkatan. Karena tahun 2005 dan 2008 telah terjadi kenaikan harga
BBM yang akumulatifnya bisa mencapai 150%. Padahal biaya operasional untuk
melaut, sekitar 40-50% adalah BBM.
Sebenarnya
perubahan iklim bukanlah sebuah krisis baru, tetapi merupakan akumulasi dari
model pembangunan yang salah selama ini. Pembangunan lebih berorientasi pada mencari
keuntungan sebesar-besarnya, tanpa mempertimbangkan dampak yang ditimbulkannya,
seperti kerusakan lingkungan. Kerusakan lingkungan, kemiskinan, dan perubahan
iklim, menambah deretan penderitaan di wilayah pesisir terutama perempuan
nelayan.
Ada beberapa faktor yang secara tidak langsung menjadi
penyebab sehingga perempuan nelayan rentan terhadap perubahan iklim. Faktor pertama,
kaum perempuan di keluarga nelayan umumnya terlibat langsung dalam aktivitas
mencari nafkah untuk keluarganya. Awalnya mereka enggan untuk masuk dalam kegiatan produktif
antara lain disebabkan oleh budaya masyarakatnya yang masih melarang perempuan
untuk bekerja. Bagi mereka perempuan hanya bertugas di dapur dan mengurus anak.
Namun, seiring dengan tekanan ekonomi yang semakin berat, mau tak mau perempuan
nelayan turut serta untuk meringankan beban keluarganya.
Kondisi ekonomi keluarga tidak menentu disebabkan karena kaum
laki-laki harus pergi melaut untuk menangkap ikan atau hewan lainnya, yang semakin
jauh dan semakin lama di lautan, bahkan berbulan-bulan. Karena populasi ikan di
laut sudah semakin berkurang. Ditambah lagi dengan tingginya kecelakaan kerja
saat penangkapan ikan di laut. Berdasarkan data dari DFID (Department for International
Development - World Fish Center) tahun 2003, diperkirakan sekitar 24.000
kematian nelayan per tahun di seluruh dunia. Semuanya semakin menambah berat beban
keluarga yang ditinggalkannya, terutama perempuan.
Karena itulah, perempuan nelayan terpaksa bekerja
lebih keras, bahkan ada yang turut melakukan aktivitas ke laut, seperti yang
terjadi di Desa Percut Kabupaten Deli
Serdang, Sumatera Utara. Ada pula yang hanya melakukan kegiatan domestik
seperti pengumpul kerang-kerangan, pengolah hasil ikan, dan pedagang ikan. Mereka
memilih melakukan kegiatan domestik karena tidak ingin terikat jam kerja agar
masih dapat melakukan pekerjaan yang utama di rumah. Jadi mereka berperan
ganda, membantu mencari nafkah keluarga dan bekerja dalam rumah tangga.
Tetapi sayang, peran mereka masih terbilang kecil dalam meningkatkan
pendapatan keluarga pada skala yang besar. Karena aktivitas perempuan nelayan selama
dibayar rendah. Sehingga peran tersebut belum dianggap berarti sebagai
penghasil pendapatan keluarga dan hanya dianggap income tambahan.
Faktor kedua, rendahnya pendidikan formal yang dimiliki oleh
perempuan nelayan, bahkan kadangkala masih banyak yang buta huruf. Berdasarkan
data BPS Sulawesi Tenggara tahun 2008, bahwa kualitas pendidikan laki-laki
lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan di masyarakat pesisir. Rendahnya
pendidikan perempuan nelayan selain disebabkan karena kemiskinan, juga karena
jarak tempat tinggal dengan tempat pendidikan cukup jauh.
Rendahnya pendidikan perempuan nelayan mengakibatkan ketidakmampuan
untuk meningkatkan kualitasnya, sehingga inovasi dan transfer pengetahuan tidak
terjadi. Ini berdampak pada cara mereka mendidik anak dan mempengaruhi persepsi
anak terhadap penting tidaknya pendidikan. Jadi peran keluarga sangat
menentukan pendidikan anak, karena keluarga merupakan tempat pertama anak memperoleh
pendidikan, dan keluarga sebagai wadah sosial terkecil dalam masyarakat.
Faktor ketiga, ketika kondisi keluarga mengalami kekurangan,
kaum perempuan nelayan juga yang bertugas mencari utangan, menggadaikan barang ke bakul, warung
atau rentenir. Bahkan, kadang perempuan nelayan selalu dijadikan
solusi untuk mengatasi masalah. Diantaranya, banyak nelayan yang menikahkan
anak gadisnya di usia dini, supaya tanggungjawab mengurusnya beralih pada
suaminya.
Jadi, dari beberapa
penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa betapa besar dampak yang secara
tidak langsung ditimbulkan oleh perubahan iklim terhadap perempuan nelayan. Karena perubahan iklim tambah memperparah
kehidupan keluarga mereka, yang memang sudah mengalami kemiskinan. Ada sebuah
pertanyaan, “apakah karena menjadi nelayan lalu
miskin ataukah karena miskin lalu menjadi nelayan?” Apapun jawabannya, yang
jelas perempuan nelayan turut andil dalam berjuang untuk membantu kelurga dan menanggulangi
kemiskinan tersebut, walaupun perannya masih dilihat sebelah mata. Namun, itu semua
termasuk perjuangan. Perjuangan perempuan sebagai ibu bangsa…Selamat hari Ibu!