Saat ini pemanasan global bukan suatu hal yang baru, dimana-mana kita
telah merasakan dampak dari pemanasan global. Iklim berubah secara perlahan
tapi pasti, dan suhu bumi memanas, dan inilah yang dinamakan sebagai pemanasan
global (global warming).
Yang paling merasakan pengaruh dari pemanasan global adalah di bagian
laut, karena lebih dari 97% bumi merupakan kandungan air laut. Dan salah satu dampak
nyata dari pemanasan global, yakni kenaikan permukaan air laut.
Kenaikan permukaan air laut disebabkan oleh meningkatnya suhu perairan. Karena
ketika atmosfer kita menghangat, maka lapisan permukaan laut juga akan ikut menghangat,
sehingga volumenya akan membesar dan menaikkan tinggi permukaan laut. Pemanasan
juga akan mencairkan banyak es di kutub (terutama sekitar Greenland), sehingga lebih memperbanyak lagi volume air di laut. Dari laporan WMO
(World Meteorological Organization)
PBB, tahun 2011 merupakan tahun ke-13 dalam sejarah Bumi (sejak tahun 1850), dimana
bumi mencapai titik suhu tertinggi.
Dengan naiknya permukaan air laut, maka akan mempengaruhi kehidupan di
daerah pantai. Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang memiliki
garis pantai terpanjang di dunia dan mayoritas populasi penduduknya tersebar di
sekitar wilayah pesisir. Sebagai negara kepulauan, Indonesia paling rentan
terhadap kenaikan permukaan air laut.
Dari data DKP (Dinas Kelautan dan Perikanan), dalam kurun waktu 2 tahun
(2006-2007), Indonesia telah kehilangan 24 pulau kecil. Salah satu diantaranya,
1 pulau yang terdapat di Sulawesi. Pesatnya kenaikan permukaan air laut ini
tidak akan mampu diimbangi dengan kecepatan untuk memindahkan nelayan (penduduk)
yang tinggal di wilayah pesisir dan menggantikan infrastruktur yang hilang.
Bencana besar itu akan datang dalam hitungan beberapa dekade saja, apabila
upaya antisipasi tidak dilakukan untuk mengatasi kenaikan permukaan air laut
tersebut.
Salah satu bentuk peran serta Indonesia dalam pemanasan global adalah Indonesia
berperan sebagai inisiator, yaitu menjadi tuan rumah, seperti di tahun 2007 di
Bali, diadakan konvensi kerja perserikatan bangsa-bangsa mengenai perubahan
iklim (UNFCCC); dan di tahun 2009 di Manado, diadakan konferensi kelautan dunia WOC (World Osean Conference) yang berisi langkah-langkah mengatasi dampak perubahan iklim.
Namun, dalam 2 konferensi internasional tersebut, sektor kelautan masih
belum memiliki titik terang. Konferensi di tahun 2007, aspek kelautan sedikit
sekali dibahas. Sementara, Konferensi di tahun 2009, sektor kelautan masih membutuhkan
proses politik yang sistematis. Karena mestinya wacananya tidak saja membahas
masalah ekologis (perubahan iklim), tetapi juga membahas masalah ekonomis, sosial-budaya,
dan geo-politik. Sehingga, kesadaran politik tentang makna laut bisa lebih
utuh.
Terlepas dari konferensi tersebut, hal yang menonjol dalam wacana perubahan
iklim adalah bagaimana membatasi atau pengurangan emisi karbondioksida. Karena
penyebab utama pemanasan global disebabkan oleh pembakaran bahan bakar fosil (seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam), yang melepaskan karbondioksida dan gas-gas lainnya ke atmosfer. Dengan semakin meningkatnya konsentrasi
gas-gas ini di atmosfer, maka semakin banyak panas yang terperangkap di bumi.
Salah satu cara menghilangkan karbondioksida di udara yaitu dengan
cara tumbuhan hijau. Karena tumbuhan hijau mampu menyerap karbondioksida yang
sangat banyak, memecahnya melalui fotosintesis dan menyimpan karbonnya dalam
tubuh. Tumbuhan hijau banyak terdapat di darat dan di laut. Tumbuhan hijau di
darat banyak terdapat di hutan, sementara tumbuhan hijau di laut banyak
terdapat salah satunya pada terumbu karang.
Namun, hal yang menjadi persoalan adalah bahwa di seluruh dunia, tingkat
perambahan hutan telah mencapai level yang mengkhawatirkan. Indonesia merupakan negara
yang laju pengrusakan hutannya tertinggi di dunia. Laju kerusakan hutan tersebut
lebih banyak dihasilkan dari proses alih fungsi hutan menjadi kawasan-kawasan
HPH-HTI, industri-industri ekstratif pertambangan dan perkebunan kelapa sawit
skala besar.
Kawasan hutan Indonesia menyusut dari sekitar 143 juta hektar menjadi 72
juta hektar. Jumlah angka tersebut akan semakin bertambah dengan rusaknya Hutan
Lambusango yang merupakan salah satu kawasan hutan lindung yang terdapat di
Sulawesi Tenggara. Hutan Lambusango yang memiliki luas sekitar 65.000 hektar
ini merupakan paru-paru dunia.
Dengan rusaknya Hutan Lambusango, menyebabkan semakin bertambah berkurangnya
kemampuan lingkungan untuk mengurangi pemanasan global. Karena hutan merupakan
penyangga ekosistem di muka bumi yang sangat berjasa dalam masalah karbon (keseimbangan
iklim) dan mengurangi polusi. Ketika Hutan Lambusango ini bertambah rusak,
otomatis akan membawa dampak bagi seluruh dunia. Karena Hutan lambusango berperan
sebagai paru-paru dunia dalam hal emisi karbondioksida.
Rusaknya Hutan lambusango disebabkan oleh aktivitas pertambangan. Karena
ternyata Hutan lambusango ini menyimpan potensi sumberdaya tambang yang sangat
besar jumlahnya. Dengan adanya potensi pertambangan mengelilingi kawasan hutan
lindung ini, maka ada sekitar 17 jumlah lokasi Kuasa Pertambangan (KP) yang
diidentifikasi tersebar, dengan jenis bahan tambang yang dieksplorasi
berbeda-beda.
Dapat kita bayangkan, bagaimana jika seluruh KP tersebut berjalan, maka
dampaknya akan sangat merusak Hutan Lambusango, dan dampak tersebut akan sangat
terasa oleh masyarakat di Pulau Buton. Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan
peninjauan kembali mengenai izin perusahaan tambang yang beroperasi di sekitar
Hutan Lambusango tersebut, agar tidak terjadi penyesalan, akan dampak yang
ditimbulkannya dikemudian hari nanti.
Ada beberapa dampak yang sangat vital yang
ditimbulkan dari rusaknya Hutan Lambusango, baik bagi masyarakat sekitarnya
maupun bagi Pulau Buton. Pertama, dampak yang paling terasa adalah debit air
pada kali sungai mulai berkurang. Hal ini disebabkan karena Hutan Lambusango
yang merupakan ruang terbuka hijau telah diubah menjadi ruang terbuka kering
untuk diambil substratnya, sehingga menyebabkan hilangnya mata air yang ada di
sekitar hutan Lambusango tersebut. Apabila hal ini dibiarkan terjadi secara
terus menerus, maka di Pulau Buton tidak akan punya hutan kaombo lagi sebagai
resapan air.
Kedua, meningkatnya sedimentasi di perairan. Karena tidak ada lagi akar
yang mampu menahan tanah tersebut, sehingga terjadi pengikisan tanah (erosi).
Erosi menyebabkan tanah terbawa oleh aliran kali sungai menuju laut, lalu
mengendap pada terumbu karang. Tingginya tingkat sedimentasi tersebut membawa
dampak rusaknya ekosistem laut (terumbu karang), yang merupakan habitat dan tempat
memijah dari berbagai jenis ikan.
Jika habitat dan tempat memijah dari berbagai jenis ikan ini telah rusak,
maka stok perikanan akan menurun, dan sumber protein kita yang berasal dari laut
akan semakin berkurang, sehingga akan sangat berpengaruh pada situasi ketahanan
pangan terutama untuk pemenuhan gizi masyarakat.
Dari hasil pengamatan penulis di lapangan, terumbu karang yang dulunya tampak
sangat cantik dan beraneka ragam warna (sebelum ada pertambangan) kini telah berubah
warna menjadi kehitaman. Hal ini disebabkan kematian zooxanthella dari jaringan
polip karang.
Zooxanthella merupakan alga (tumbuhan) yang mengandung berbagai pigmen untuk
berfotosintesis. Keberadaan zooxanthella pada karang ini sangat penting, karena
dapat memberi berbagai warna yang unik pada karang. Bahkan, zooxanthella turut
membantu pembentukan kerangka kapur pada karang. Oleh karena itu, zooxanthella
penting bagi karang, dan sinar matahari merupakan kebutuhan inti bagi
zooxathella untuk berfotosintesis, maka sangatlah penting bagi karang untuk
mendapatkan cukup sinar matahari.
Dengan tingginya sedimentasi, perairan menjadi tidak jernih lagi, warna
perairan telah berubah menjadi merah kecoklat-coklatan. Sehingga zooxanthella
yang berada di dalam polip karang tidak cukup mendapatkan cahaya matahari untuk
berfotosintesis. Lama kelamaan zooxanthella tersebut mengalami kematian.
Sedimentasi juga mempengaruhi pola zonasi alami karang. Dimana,
sedimentasi menginvasi daerah karang, karena planula dan hewan karang butuh
hidup di subtrat yang keras, namun jika itu terjadi pada waktu yang lama akan
mengakibatkan kematian terumbu karang. Akibatnya, dapat menyebabkan
berkurangnya perkembangan terumbu karang.
Dari beberapa paparan di atas terlihat bahwa terumbu karang juga dapat
mengurangi pemanasan global. Terumbu karang dapat menyerap karbondioksida. Dari
hasil penelitian menunjukkan bahwa terumbu karang di Indonesia mampu menyerap sekitar
73,5 juta ton karbon/tahun.
Namun demikian, terumbu karang di Indonesia telah banyak memperlihatkan
kecenderungan menurun kondisinya, karena terus menerus mendapat tekanan, baik
karena faktor alam maupun karena ulah manusia. Menurut data Coremap (2006), ada
sekitar 3,6 % karang yang masih sangat baik,
dan sekitar 40 % telah mengalami rusak parah.
Dapat kita bayangkan bagaimana keadaan kita
dimasa yang akan datang, apabila hutan dan terumbu karang kita telah benar-benar
mengalami kerusakan yang parah dan membutuhkan waktu yang lama untuk bisa pulihkan
kembali. Padahal hutan dan terumbu karang inilah yang dapat menyelamatkan kita
dari dampak pemanasan global yang dapat menenggelamkan pulau kita.
Semoga momentum pergantian tahun 2012 ini, mampu kita maknai dengan sikap
mengintropeksi diri agar lebih bijak dengan selalu melihat banyak aspek yang
dihasilkan dari segala aktivitas pengelolaan bumi ini, mengingat Propinsi
Sulawesi Tenggara juga tergolong propinsi kepulauan. Ketika pohon terakhir
ditebang, ketika sungai terakhir kering, ketika ikan terakhir ditangkap,
manusia akan sadar bahwa uang tidak bias dimakan…
Dimuat dalam koran lokal
Kendari Pos, Sabtu,
22 Desember 2012