Rabu, 07 Oktober 2015

Budaya masyarakat pesisir

Ruang lingkup
1. Definisi budaya dan kebudayaan
2.  Penggolongan kebudayaan
3. Struktur sosial nelayan
...........................................................................................................................
1. Definisi budaya

       Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Kebudayaan adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak.
       Perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.

 2. Penggolongan kebudayaan
        Berdasarkan wujudnya , kebudayaan digolongkan atas dua komponen utama:
          1. Kebudayaan material
       Kebudayaan material mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang nyata dan konkret. Termasuk temuan-temuan yang dihasilkan dari suatu penggalian arkeologi: mangkuk tanah liat, perhisalan, senjata, dan seterusnya. Kebudayaan material juga mencakup barang-barang, seperti televisi, pesawat terbang, stadion olahraga, pakaian, gedung pencakar langit, dan mesin cuci.
             2. Kebudayaan nonmaterial
       Kebudayaan nonmaterial adalah ciptaan-ciptaan abstrak yang diwariskan dari generasi ke generasi, misalnya berupa dongeng, cerita rakyat, dan lagu atau tarian tradisional. 

3.  Struktur sosial nelayan
         Sistem bagi hasil berdasarkan nilai investasi yang ditanam pada pemanfaatan sumber daya laut sebenarnya belum dikenal pada masyarakat yang masih menganut sistem pemilikan komunal. Sistem bagi hasil yang mempertimbangkan aset produksi dengan orang yang bekerja dalam proses produksi mulai dikenal setelah sistem mata pencaharian berkembangan mengakui adanya hak milik perorangan, serta mempertimbangkan investasi perorangan dalam usaha penangkapan ikan (Wahyono, 2003).
Sistem bagi hasil yang diterapkan biasanya ditentukan dari jenis teknologi yang dikembangkan dan besarnya kontribusi modal yang ditanam. Besarnya bagi hasil tangkapan juga bisa didasarkan pada faktor kontribusi yang diberikan masing-masing anggota penangkapan (Zerner, 1995). Pada masyarakat nelayan yang masih menggunakan peralatan sederhana kontribusi anggota penangkapan masih dimungkinkan terjadi, namun pada usaha perikanan yang padat modal agak sulit terjadi.  Menurut Zerner kecenderungan setiap investor pada usaha perikanan tangkap melakukan monopoli keuntungan melalui penguasaan mesin kapal, perahu, dan alat tangkap yang selanjutnya akan mempengaruhi sistem pembagian hasil tangkapan dan ini merupakan potensi terjadinya konflik antara pemilik sarana alat tangkap dan buruh nelayan.
Pada umumnya, model relasi antara pemilik modal dan buruh nelayan yang saling menguntungkan kedua belah pihak merupakan fenomena sosial yang terjadi pada setiap komunitas nelayan dan terikat dalam kepentingan ekonomi antara kedua belah pihak (pemilik modal dan nelayan).  Hubungan antara pemilik modal dan nelayan yang berlangsung selama ini, bergerak dalam bentuk “saling bergantungan antara kedua belah pihak”, meskipun kenyataannnya di berbagai komunitas nelayan memperlihatkan bahwa pihak anak buah kapal (ABK) berada pada posisi yang kurang menguntungkan disebabkan karena pendapatan dari ABK sangat kecil.
 Komunitas nelayan biasanya terdiri dua kelompok besar, yaitu kelompok produsen (para penangkap ikan dan kelompok pemasaran (para pedagang yang membeli dan menjual kembali ikan hasil tangkapan nelayan). Kelompok pemasaran dikatakan sebagai institusi yang menjembatani antara nelayan dengan pasar, sedangkan untuk kelompok produsen dapat dibedakan menjadi nelayan pemilik perahu dan peralatan perikanan (juragan). Serta nelayan yang bekerja sebagai buruh nelayan. Hubungan patron-client di dalam komunitas masyarakat nelayan umumnya terjadi antara buruh nelayan dengan jurangan di satu pihak atau antara juragan dengan pedagang di lain pihak.  Jarang ditemukan hubungan antara buruh nelayan dengan pedagang, karena buruh nelayan bukanlah pengambil keputusan dalam aktivitas penangkapan ikan.
Praktik hubungan patron-klien pada realitanya memang menjadi sesuatu yang paradoks dalam diri nelayan pesisir.  Tatkala dalam kondisi sangat membutuhkan bantuan, kemudian mendapatkannya dari punggawa, maka tercetus rasa syukur dan mengakui kebaikan sang dewa penolong. Sebaliknya, ketika mereka menyadari dan meratapi nasib kurang beruntung, maka tercetus kondisi hidup seperti itu sedikit banyak menggangapnya sebagai praktik punggawa yang senantiasa dilandasi pikiran untung-rugi. Inilah memang paradoks dari praktik kelembagaan sosial ekonomi patro-klien pada komunitas nelayan yang miskin.
Dari perspektif nelayan tradisional dan nelayan buruh, pranata sosial ekonomi patro-klien pada praktiknya dapat menjalankan fungsi ekonomi dan sosial bagi kehidupan nelayan, seperti menjadi tempat pertama meminta bantuan uang bila nelayan tidak melaut karena cuaca, sakit dan sebagainya. Setidaknya, secara umum pranata patron-klien merupakan sebuah kelembagaan yang lahir dari adanya saling percaya antara beberapa golongan komunitas nelayan, yaitu pemilik kapal (modal ekonomi) berperan sebagai patron, golongan komunitas nelayan tidak memiliki modal, tapi mempunyai modal lain, yakni keahlian dan tenaga.  Golongan yang memiliki keahlian diantaranya nahkoda dan teknisi, sedangkan yang hanya mempunyai modal tenaga adalah berperan sebagai pekerja, di luar sebagai pekerjaaan sebagai nahkoda dan teknisi. Golongan yang hanya mengandalkan tenaga inilah yang termaksud kategori nelayan miskin, yang terbesar jumlahny.
Sikap saling percaya (trust) yang melahirkan pranata patron-klien sesungguhnya merupakan salah satu elemen pokok modal sosial (Pretty & Ward, 1999 : 4).  Elemen trust ini meliputi adanya kejujuran (honesty), kewajaran (fairness), sikap egaliter (egalitarianism), toleransi (tolerance) dan kemurahan hati (generosity).  Sedangkan elemen-elemen pokok dari modal sosial adalah jaringan sosial (net works) dan pranata (institutions).



Selasa, 29 September 2015

Karakteristik sosial masyarakat pesisir



Ruang lingkup
1.      Karakteristik Sosial Masyarakat pesisir
2.      Pengertian dan Penggolongan Nelayan
 --------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

****** Karakteristik Sosial Masyarakat pesisir
Wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan (Dahuri dkk, 2001), apabila ditinjau dari garis pantai (coastline) suatu wilayah pesisir (pantai) memiliki dua macam batas (boundaries), yaitu batas yang sejajar garis pantai (long shore) dan batas yang tegak lurus terhadap garis pantai (croos-shore).
Potensi pembangunan yang terdapat di wilayah pesisir dan lautan dapat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu (1) sumber daya dapat pulih (renewable resources); (2) sumber daya tidak dapat pulih (non-renewable resources); dan (3) jasa-jasa lingkungan (environmental services).  Sumber daya dapat pulih meliputi hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun dan rumput laut, serta sumber daya perikanan laut. Pengertian sumber daya perikanan laut sebagai sumber daya yang dapat pulih sering disalahtafsirkan sebagai sumber daya yang dapat dieksploitasi secara terus menerus tanpa batas.  Secara nasional, potensi lestari sumber daya perikanan laut sebesar 6,7 juta ton/tahun dengan tingkat pemanfaatan mencapai 48% (Ditjen Perikanan, 1998).
Wilayah pesisir dan lautan Indonesia juga memiliki berbagai macam jasa lingkungan yang sangat potensial bagi kepentingan pembangunan dan bahkan kelangsungan hidup manusia.  Jasa-jasa lingkungan yang dimaksud meliputi fungsi kawasan pesisir dan lautan sebagai tempat pemukiman, tempat rekreasi, dan pariwisata, media transportasi dan komunikasi, sumber energi, sarana pendidikan dan penelitian, pertahanan keamanan, penampungan limbah dari pemukiman dan industri, pengatur iklim (climate regulator). Kawasan perlindungan (konservasi dan preservasi), dan sistem penunjang kehidupan serta fungsi ekologis lainnya.
Sebagai negara maritim, Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, dengan panjang pantai 81.000 km dan memiliki 17.508 buah pulau serta dua pertiga dari wilayahnya berupa laut serta memiliki potensi perikanan yang besar.  Potensi ikan lestarinya paling tidak ada sekitar 6,17 juta ton per tahun, terdiri atas 4,07 juta ton di perairan nusantara yang hanya 38 persennya dimanfaatkan dan 2,1 juta ton per tahun berada di perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), yang potensi pemanfaatannya juga baru 20 persen (Dahuri, 2004). Perairan laut seluas total 5,8 juta Km2 (berdasarkan konvensi PBB tahun 1982), Indonesia menyimpan potensi sumberdaya hayati dan non hayati yang melimpah.  Hal ini menyebabkan sebagian besar masyarakat tinggal dan menempati daerah sekitar wilayah pesisir dan menggantungkan hidupnya sebagai nelayan.
Sebagai negara kepulauan Indonesia memiliki beberapa wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.  Wilayah pesisir tersebut tersebar dalam beberapa desa-desa pesisir, dari  67.439 desa di Indonesia kurang lebih 9.261 desa dikategorikan sebagai desa pesisir di mana sebagai besar penduduknya miskin. Desa-desa pesisir menjadi kantong-kantong kemiskinan struktural yang potensial.  Kesulitan mengatasi masalah kemiskinan di desa-desa pesisir telah menjadikan penduduk di kawasan ini harus menanggung beban kehidupan yang tidak dapat dipastikan kapan akan berakhir. Keterbatasan pekerjaan yakni hanya sebagai nelayan penangkap, pembudi daya maupun sebagai pengolah hasil perikanan menimbulkan kerawanan di bidang sosial-ekonomi yang dapat menjadi lahan subur bagi timbulnya kerawanan-kerawanan di bidang kehidupan yang lain.
Penjelasan mengenai wilayah pesisir dan sumber daya pesisir telah dipaparkan secara jelas, untuk melengkapi bahan penjelasan perlu kiranya diketahui juga apa yang dimaksud dengan populasi masyarakat pesisir itu sendiri.  Populasi masyarakat pesisir didefinisikan sebagai kelompok orang yang tinggal di daerah pesisir dan sumber kehidupan perekonomiannya bergantung secara langsung pada pemanfaatan sumberdaya laut dan pesisir. Definisi inipun bias juga dikembangkan lebih jauh karena pada dasarnya banyak orang yang hidupnya bergantung pada sumberdaya laut. Mereka terdiri dari nelayan pemilik, buruh nelayan, pembudidaya ikan dan organisme laut lainnya, pedagang ikan, pengolah ikan, supplier faktor sarana produksi perikanan.
Dalam bidang non-perikanan, masyarakat pesisir bisa terdiri dari penjual jasa pariwisata, penjual jasa transportasi, serta kelompok masyarakat lainnya yang memanfaatkan sumberdaya non-hayati laut dan pesisir untuk menyokong kehidupannya. Defenisi luas tersebut, tidak seluruhnya diambil namun hanya difokuskan pada kelompok nelayan dan pembudidaya ikan serta pedagang dan pengolah ikan. Kelompok ini secara langsung mengusahakan dan memanfaatkan sumberdaya ikan melalui kegiatan penangkapan dan budidaya. Kelompok ini pula yang mendominasi pemukiman di wilayah pesisir di seluruh Indonesia, di pantai, dan di  pulau-pulau besar dan kecil. Sebagian masyarakat nelayan pesisir ini adalah pengusaha skala kecil dan menengah, namun lebih banyak dari mereka yang bersifat subsisten yakni menjalani usaha dan kegiatan ekonominya untuk menghidupi keluarga sendiri, dengan skala yang begitu kecil sehingga hasilnya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan jangka waktu sangat pendek.
Tingkat sosial-ekonomi maupun budaya yang rendah merupakan ciri umum kehidupan nelayan, jika dibandingkan dengan secara seksama dengan kelompok masyarakat lain di sektor pertanian, nelayan (khususnya nelayan buruh dan nelayan kecil atau nelayan tradisional) dapat digolongkan sebagai lapisan sosial yang paling miskin. Pola-pola pekerjaan sebagai nelayan membatasi aktivitas ke sektor pekerjaan lain sehingga mempengaruhi pendapatan dan pengeluaran rumah tangganya. 
Menurut perspektif sosiologi, karakterisitik masyarakat pesisir berbeda dengan karakteristik masyarakat agraris. Hal ini disebabkan perbedaan karakteristik sumber-sumber yang dihadapi. Pada masyarakat agraris, produksi bisa diperkirakan karena sumber daya lebih dapat dikontrol. Sifat produksi yang tetap, demikian pula dengan lokasi pengolahannya, menjadikan mobilitas usaha relatif lebih rendah dan resiko yang kemungkinan ditimbulkannya pun tidak terlampau besar. Tidak demikian dengan karakteristik masyarakat pesisir yang direprensentasikan oleh nelayan. Mereka harus menghadapi sumber daya berpindah-pindah untuk memperoleh hasil maksimal. Karakteristik demikian menimbulkan resiko sangat tinggi, yang membentuk manusia pesisir berwatak keras, tegas, dan terbuka (Satria, 2002).
Dari sisi skala usaha perikanan, kelompok masyarakat pesisir miskin diantaranya terdiri dari rumah tangga perikanan yang menangkap ikan tanpa menggunakan perahu, menggunakan perahu tanpa motor dan perahu bermotor tempel. Dengan skala usaha ini, rumah tangga ini hanya mampu menangkap ikan di daerah dekat pantai. Dalam kasus tertentu, memang mereka dapat pergi jauh dari pantai dengan cara bekerjasama sebagai mitra perusahaan besar. Namun usaha dengan hubungan kemitraan seperti tidak begitu banyak dan berarti dibandingkan dengan jumlah rumah tangga yang begitu banyak (Nikijuluw, 2001).
***** Nelayan
Nelayan adalah suatu kelompok masyarakat yang kehidupannya tergantung langsung pada hasil laut, baik dengan cara melakukan penangkapan ataupun budi daya.  Mereka pada umumnya tinggal di pinggir pantai, sebuah lingkungan pemukiman yang dekat dengan lokasi kegiatannya (Imron, 2003). Selanjutnya menurut Ensiklopedia Indonesia (1990) yang dikatakan nelayan adalah orang yang secara aktif melakukan kegiatan menangkap ikan, baik secara langsung (seperti menebar dan pemakai jaring) maupun secara tidak langsung (seperti juru mudi perahu layar, nakhoda kapal ikan bermotor, ahli mesin kapal, juru masak kapal penangkap ikan) sebagai mata pencaharian. Pengertian lain mengatakan bahwa nelayan merupakan seseorang yang memanfaatkan wilayah pesisir sebagai tempat bekerjanya (Elfrindi, 2002).
Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 bahwa nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan.  Selanjutnya pengertian lain dari nelayan yaitu orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Dalam perstatistikan perikanan perairan umum, nelayan adalah orang yang secara aktif melakukan operasi penangkapan ikan di perairan umum. Orang yang melakukan pekerjaan seperti membuat Jaring, mengangkut alat-alat penangkapan ikan ke dalam perahu/kapal motor, dan mengangkut ikan dari perahu/kapal motor tidak dikategorikan sebagai nelayan.
Pada dasarnya, penggolongan sosial dalam masyarakat nelayan dapat ditinjau dari tiga sudut pandang :
1.      Dari segi penguasaan alat-alat produksi atau peralatan tangkap (perahu, jaring, dan perlengkapan yang lain).
2.      Ditinjau dari tingkat skala investasi modal usahanya
3.      Dipandang dari tingkat teknologi peralatan tangkap yang digunakan.
Adapun penjabaran serta penjelasan dari masing-masing sudut pandang tersebut akan dijelaskan secara lengkap sebagai berikut :
1.      Dari segi penguasaan alat-alat produksi atau peralatan tangkap (perahu, jaring, dan perlengkapan yang lain).  Jika ditinjau dari segi pandang ini maka struktur masyarakat nelayan terbagi ke dalam kategori :
1.      Nelayan pemilik (memiliki alat-alat produksi)
2.      Nelayan buruh.  Nelayan buruh tidak memiliki alat-alat produksi dan dalam kegiatan produksi sebuah unit perahu, nelayan buruh hanya menyumbangkan jasa tenaganya dengan memperoleh hak-hak yang sangat terbatas.
Secara kuantitatif, jumlah nelayan buruh lebih besar dibandingkan dengan nelayan pemilik.
2.   Ditinjau dari tingkat skala investasi modal usahanya
Struktur masyarakat nelayan terbagi ke dalam kategori nelayan besar dan nelayan kecil. Disebut sebagai nelayan besar karena jumlah modal yang diinvestasikan dalam usaha perikanan relatif banyak, sedangkan nelayan kecil justru sebaliknya.
3.      Dipandang dari tingkat teknologi peralatan tangkap yang digunakan.
Masyarakat nelayan terbagi menjadi nelayan modern dan nelayan tradisional. Nelayan-nelayan modern menggunakan teknologi penangkapan yang lebih canggih dibandingkan dengan nelayan tradisional. Jumlah nelayan-nelayan modern relatif lebih kecil dibandingkan dengan nelayan tradisional. Perbedaan-perbedaan tersebut membawa implikasi terhadap tingkat pendapatan dan kemampuan atau kesejahteraan sosial-ekonomi.  Baik nelayan besar dan atau nelayan modern maupun nelayan kecil dan atau nelayan tradisional, biasanya masing-masing merupakan kategori sosial-ekonomi yang relatif sama, dengan orientasi usaha dan perilaku yang berbeda-beda.
Berdasarkan uraian di atas, nelayan buruh dapat bekerja pada unit-unit penangkapan yang dimiliki nelayan besar atau nelayan modern dan nelayan kecil atau nelayan tradisional. Sekalipun demikian, nelayan buruh yang bekerja pada unit-unit penangkapan yang lebih modern dan canggih, seperti purse seine yang digunakan untuk menangkap jenis-jenis ikan pelagis, tidak mesti lebih baik tingkat kesejahteraan hidupnya dibandingkan dengan nelayan buruh yang bekerja pada unit-unit penangkapan tradisional, seperti sampan pancingan, yang digunakan untuk menangkap ikan tongkol, cakalang, dan ikan layang (pelagic fish) atau perahu jaring senar yang dipakai untuk menangkap jenis-jenis ikan dasar (demersal fish).