1. Definisi budaya dan kebudayaan
2. Penggolongan kebudayaan
3. Struktur sosial nelayan
...........................................................................................................................
1. Definisi budaya
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Kebudayaan adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak.
Perwujudan
kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang
berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya
pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni,
dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam
melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
2. Penggolongan kebudayaan
Berdasarkan
wujudnya , kebudayaan digolongkan atas dua komponen utama:
1. Kebudayaan
material
Kebudayaan material
mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang nyata dan konkret.
Termasuk temuan-temuan yang dihasilkan dari suatu
penggalian arkeologi: mangkuk tanah liat, perhisalan, senjata, dan seterusnya. Kebudayaan
material juga mencakup barang-barang, seperti televisi, pesawat terbang,
stadion olahraga, pakaian, gedung pencakar langit, dan mesin cuci.
2. Kebudayaan
nonmaterial
Kebudayaan
nonmaterial adalah ciptaan-ciptaan abstrak yang diwariskan dari generasi ke
generasi, misalnya berupa dongeng, cerita rakyat, dan lagu atau tarian
tradisional.
3. Struktur sosial nelayan
Sistem bagi hasil berdasarkan nilai investasi
yang ditanam pada pemanfaatan sumber daya laut sebenarnya belum dikenal pada
masyarakat yang masih menganut sistem pemilikan komunal. Sistem bagi hasil yang
mempertimbangkan aset produksi dengan orang yang bekerja dalam proses produksi
mulai dikenal setelah sistem mata pencaharian berkembangan mengakui adanya hak milik
perorangan, serta mempertimbangkan investasi perorangan dalam usaha penangkapan
ikan (Wahyono, 2003).
Sistem bagi hasil yang diterapkan
biasanya ditentukan dari jenis teknologi yang dikembangkan dan besarnya
kontribusi modal yang ditanam. Besarnya bagi hasil tangkapan juga bisa
didasarkan pada faktor kontribusi yang diberikan masing-masing anggota
penangkapan (Zerner, 1995). Pada masyarakat nelayan yang masih menggunakan
peralatan sederhana kontribusi anggota penangkapan masih dimungkinkan terjadi,
namun pada usaha perikanan yang padat modal agak sulit terjadi. Menurut
Zerner kecenderungan setiap investor pada usaha perikanan tangkap melakukan
monopoli keuntungan melalui penguasaan mesin kapal, perahu, dan alat tangkap
yang selanjutnya akan mempengaruhi sistem pembagian hasil tangkapan dan ini
merupakan potensi terjadinya konflik antara pemilik sarana alat tangkap dan buruh
nelayan.
Pada umumnya, model relasi antara
pemilik modal dan buruh nelayan yang saling menguntungkan kedua belah pihak
merupakan fenomena sosial yang terjadi pada setiap komunitas nelayan dan
terikat dalam kepentingan ekonomi antara kedua belah pihak (pemilik modal dan
nelayan). Hubungan antara pemilik modal
dan nelayan yang berlangsung selama ini, bergerak dalam bentuk “saling
bergantungan antara kedua belah pihak”, meskipun kenyataannnya di berbagai
komunitas nelayan memperlihatkan bahwa pihak anak buah kapal (ABK) berada pada
posisi yang kurang menguntungkan disebabkan karena pendapatan dari ABK sangat kecil.
Komunitas nelayan biasanya terdiri dua
kelompok besar, yaitu kelompok produsen (para penangkap ikan dan kelompok
pemasaran (para pedagang yang membeli dan menjual kembali ikan hasil tangkapan
nelayan). Kelompok pemasaran dikatakan sebagai institusi yang menjembatani
antara nelayan dengan pasar, sedangkan untuk kelompok produsen dapat dibedakan
menjadi nelayan pemilik perahu dan peralatan perikanan (juragan). Serta nelayan
yang bekerja sebagai buruh nelayan. Hubungan patron-client di dalam komunitas masyarakat nelayan umumnya terjadi
antara buruh nelayan dengan jurangan di satu pihak atau antara juragan dengan
pedagang di lain pihak. Jarang ditemukan
hubungan antara buruh nelayan dengan pedagang, karena buruh nelayan bukanlah
pengambil keputusan dalam aktivitas penangkapan ikan.
Praktik hubungan patron-klien pada realitanya memang menjadi sesuatu yang paradoks
dalam diri nelayan pesisir. Tatkala
dalam kondisi sangat membutuhkan bantuan, kemudian mendapatkannya dari punggawa, maka tercetus rasa syukur dan
mengakui kebaikan sang dewa penolong. Sebaliknya, ketika mereka menyadari dan
meratapi nasib kurang beruntung, maka tercetus kondisi hidup seperti itu
sedikit banyak menggangapnya sebagai praktik punggawa yang senantiasa dilandasi pikiran untung-rugi. Inilah
memang paradoks dari praktik kelembagaan sosial ekonomi patro-klien pada komunitas nelayan yang miskin.
Dari perspektif nelayan tradisional dan
nelayan buruh, pranata sosial ekonomi patro-klien
pada praktiknya dapat menjalankan fungsi ekonomi dan sosial bagi kehidupan
nelayan, seperti menjadi tempat pertama meminta bantuan uang bila nelayan tidak
melaut karena cuaca, sakit dan sebagainya. Setidaknya, secara umum pranata patron-klien merupakan sebuah
kelembagaan yang lahir dari adanya saling percaya antara beberapa golongan
komunitas nelayan, yaitu pemilik kapal (modal ekonomi) berperan sebagai patron,
golongan komunitas nelayan tidak memiliki modal, tapi mempunyai modal lain,
yakni keahlian dan tenaga. Golongan yang
memiliki keahlian diantaranya nahkoda dan teknisi, sedangkan yang hanya
mempunyai modal tenaga adalah berperan sebagai pekerja, di luar sebagai
pekerjaaan sebagai nahkoda dan teknisi. Golongan yang hanya mengandalkan tenaga
inilah yang termaksud kategori nelayan miskin, yang terbesar jumlahny.
Sikap
saling percaya (trust) yang
melahirkan pranata patron-klien sesungguhnya merupakan salah satu elemen pokok
modal sosial (Pretty & Ward, 1999 : 4).
Elemen trust ini meliputi
adanya kejujuran (honesty), kewajaran
(fairness), sikap egaliter (egalitarianism), toleransi (tolerance) dan kemurahan hati (generosity). Sedangkan elemen-elemen pokok dari modal
sosial adalah jaringan sosial (net works)
dan pranata (institutions).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar