Selasa, 22 April 2014

PEMANASAN GLOBAL, HUTAN LAMBUSANGO DAN TERUMBU KARANG


Saat ini pemanasan global bukan suatu hal yang baru, dimana-mana kita telah merasakan dampak dari pemanasan global. Iklim berubah secara perlahan tapi pasti, dan suhu bumi memanas, dan inilah yang dinamakan sebagai pemanasan global (global warming).

Yang paling merasakan pengaruh dari pemanasan global adalah di bagian laut, karena lebih dari 97% bumi merupakan kandungan air laut. Dan salah satu dampak nyata dari pemanasan global, yakni kenaikan permukaan air laut.

Kenaikan permukaan air laut disebabkan oleh meningkatnya suhu perairan. Karena ketika atmosfer kita menghangat, maka lapisan permukaan laut juga akan ikut menghangat, sehingga volumenya akan membesar dan menaikkan tinggi permukaan laut. Pemanasan juga akan mencairkan banyak es di kutub (terutama sekitar Greenland), sehingga lebih memperbanyak lagi volume air di laut. Dari laporan WMO (World Meteorological Organization) PBB, tahun 2011 merupakan tahun ke-13 dalam sejarah Bumi (sejak tahun 1850), dimana bumi mencapai titik suhu tertinggi.  

Dengan naiknya permukaan air laut, maka akan mempengaruhi kehidupan di daerah pantai. Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang memiliki garis pantai terpanjang di dunia dan mayoritas populasi penduduknya tersebar di sekitar wilayah pesisir. Sebagai negara kepulauan, Indonesia paling rentan terhadap kenaikan permukaan air laut.

Dari data DKP (Dinas Kelautan dan Perikanan), dalam kurun waktu 2 tahun (2006-2007), Indonesia telah kehilangan 24 pulau kecil. Salah satu diantaranya, 1 pulau yang terdapat di Sulawesi. Pesatnya kenaikan permukaan air laut ini tidak akan mampu diimbangi dengan kecepatan untuk memindahkan nelayan (penduduk) yang tinggal di wilayah pesisir dan menggantikan infrastruktur yang hilang. Bencana besar itu akan datang dalam hitungan beberapa dekade saja, apabila upaya antisipasi tidak dilakukan untuk mengatasi kenaikan permukaan air laut tersebut.

Salah satu bentuk peran serta Indonesia dalam pemanasan global adalah Indonesia berperan sebagai inisiator, yaitu menjadi tuan rumah, seperti di tahun 2007 di Bali, diadakan konvensi kerja perserikatan bangsa-bangsa mengenai perubahan iklim (UNFCCC); dan di tahun 2009 di Manado,  diadakan konferensi kelautan dunia WOC (World Osean Conference) yang berisi langkah-langkah mengatasi dampak perubahan iklim.

Namun, dalam 2 konferensi internasional tersebut, sektor kelautan masih belum memiliki titik terang. Konferensi di tahun 2007, aspek kelautan sedikit sekali dibahas. Sementara, Konferensi di tahun 2009, sektor kelautan masih membutuhkan proses politik yang sistematis. Karena mestinya wacananya tidak saja membahas masalah ekologis (perubahan iklim), tetapi juga membahas masalah ekonomis, sosial-budaya, dan geo-politik. Sehingga, kesadaran politik tentang makna laut bisa lebih utuh.

Terlepas dari konferensi tersebut, hal yang menonjol dalam wacana perubahan iklim adalah bagaimana membatasi atau pengurangan emisi karbondioksida. Karena penyebab utama pemanasan global disebabkan oleh pembakaran bahan bakar fosil (seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam), yang melepaskan karbondioksida dan gas-gas lainnya ke atmosfer. Dengan semakin meningkatnya konsentrasi gas-gas ini di atmosfer, maka semakin banyak panas yang terperangkap di bumi.

Salah satu cara menghilangkan karbondioksida di udara yaitu dengan cara tumbuhan hijau. Karena tumbuhan hijau mampu menyerap karbondioksida yang sangat banyak, memecahnya melalui fotosintesis dan menyimpan karbonnya dalam tubuh. Tumbuhan hijau banyak terdapat di darat dan di laut. Tumbuhan hijau di darat banyak terdapat di hutan, sementara tumbuhan hijau di laut banyak terdapat salah satunya pada terumbu karang.

Namun, hal yang menjadi persoalan adalah bahwa di seluruh dunia, tingkat perambahan hutan telah mencapai level yang mengkhawatirkan. Indonesia merupakan negara yang laju pengrusakan hutannya tertinggi di dunia. Laju kerusakan hutan tersebut lebih banyak dihasilkan dari proses alih fungsi hutan menjadi kawasan-kawasan HPH-HTI, industri-industri ekstratif pertambangan dan perkebunan kelapa sawit skala besar.

Kawasan hutan Indonesia menyusut dari sekitar 143 juta hektar menjadi 72 juta hektar. Jumlah angka tersebut akan semakin bertambah dengan rusaknya Hutan Lambusango yang merupakan salah satu kawasan hutan lindung yang terdapat di Sulawesi Tenggara. Hutan Lambusango yang memiliki luas sekitar 65.000 hektar ini merupakan paru-paru dunia.

Dengan rusaknya Hutan Lambusango, menyebabkan semakin bertambah berkurangnya kemampuan lingkungan untuk mengurangi pemanasan global. Karena hutan merupakan penyangga ekosistem di muka bumi yang sangat berjasa dalam masalah karbon (keseimbangan iklim) dan mengurangi polusi. Ketika Hutan Lambusango ini bertambah rusak, otomatis akan membawa dampak bagi seluruh dunia. Karena Hutan lambusango berperan sebagai paru-paru dunia dalam hal emisi karbondioksida.

Rusaknya Hutan lambusango disebabkan oleh aktivitas pertambangan. Karena ternyata Hutan lambusango ini menyimpan potensi sumberdaya tambang yang sangat besar jumlahnya. Dengan adanya potensi pertambangan mengelilingi kawasan hutan lindung ini, maka ada sekitar 17 jumlah lokasi Kuasa Pertambangan (KP) yang diidentifikasi tersebar, dengan jenis bahan tambang yang dieksplorasi berbeda-beda.

Dapat kita bayangkan, bagaimana jika seluruh KP tersebut berjalan, maka dampaknya akan sangat merusak Hutan Lambusango, dan dampak tersebut akan sangat terasa oleh masyarakat di Pulau Buton. Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan peninjauan kembali mengenai izin perusahaan tambang yang beroperasi di sekitar Hutan Lambusango tersebut, agar tidak terjadi penyesalan, akan dampak yang ditimbulkannya dikemudian hari nanti.

Ada beberapa dampak yang sangat vital yang ditimbulkan dari rusaknya Hutan Lambusango, baik bagi masyarakat sekitarnya maupun bagi Pulau Buton. Pertama, dampak yang paling terasa adalah debit air pada kali sungai mulai berkurang. Hal ini disebabkan karena Hutan Lambusango yang merupakan ruang terbuka hijau telah diubah menjadi ruang terbuka kering untuk diambil substratnya, sehingga menyebabkan hilangnya mata air yang ada di sekitar hutan Lambusango tersebut. Apabila hal ini dibiarkan terjadi secara terus menerus, maka di Pulau Buton tidak akan punya hutan kaombo lagi sebagai resapan air.

Kedua, meningkatnya sedimentasi di perairan. Karena tidak ada lagi akar yang mampu menahan tanah tersebut, sehingga terjadi pengikisan tanah (erosi). Erosi menyebabkan tanah terbawa oleh aliran kali sungai menuju laut, lalu mengendap pada terumbu karang. Tingginya tingkat sedimentasi tersebut membawa dampak rusaknya ekosistem laut (terumbu karang), yang merupakan habitat dan tempat memijah dari berbagai jenis ikan.

Jika habitat dan tempat memijah dari berbagai jenis ikan ini telah rusak, maka stok perikanan akan menurun, dan sumber protein kita yang berasal dari laut akan semakin berkurang, sehingga akan sangat berpengaruh pada situasi ketahanan pangan terutama untuk pemenuhan gizi masyarakat.

Dari hasil pengamatan penulis di lapangan, terumbu karang yang dulunya tampak sangat cantik dan beraneka ragam warna (sebelum ada pertambangan) kini telah berubah warna menjadi kehitaman. Hal ini disebabkan kematian zooxanthella dari jaringan polip karang.

Zooxanthella merupakan alga (tumbuhan) yang mengandung berbagai pigmen untuk berfotosintesis. Keberadaan zooxanthella pada karang ini sangat penting, karena dapat memberi berbagai warna yang unik pada karang. Bahkan, zooxanthella turut membantu pembentukan kerangka kapur pada karang. Oleh karena itu, zooxanthella penting bagi karang, dan sinar matahari merupakan kebutuhan inti bagi zooxathella untuk berfotosintesis, maka sangatlah penting bagi karang untuk mendapatkan cukup sinar matahari.

Dengan tingginya sedimentasi, perairan menjadi tidak jernih lagi, warna perairan telah berubah menjadi merah kecoklat-coklatan. Sehingga zooxanthella yang berada di dalam polip karang tidak cukup mendapatkan cahaya matahari untuk berfotosintesis. Lama kelamaan zooxanthella tersebut mengalami kematian.  

Sedimentasi juga mempengaruhi pola zonasi alami karang. Dimana, sedimentasi menginvasi daerah karang, karena planula dan hewan karang butuh hidup di subtrat yang keras, namun jika itu terjadi pada waktu yang lama akan mengakibatkan kematian terumbu karang. Akibatnya, dapat menyebabkan berkurangnya perkembangan terumbu karang.

Dari beberapa paparan di atas terlihat bahwa terumbu karang juga dapat mengurangi pemanasan global. Terumbu karang dapat menyerap karbondioksida. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa terumbu karang di Indonesia mampu menyerap sekitar 73,5 juta ton karbon/tahun.

Namun demikian, terumbu karang di Indonesia telah banyak memperlihatkan kecenderungan menurun kondisinya, karena terus menerus mendapat tekanan, baik karena faktor alam maupun karena ulah manusia. Menurut data Coremap (2006), ada sekitar 3,6 % karang yang masih sangat baik, dan sekitar 40 % telah mengalami rusak parah.

Dapat kita bayangkan bagaimana keadaan kita dimasa yang akan datang, apabila hutan dan terumbu karang kita telah benar-benar mengalami kerusakan yang parah dan membutuhkan waktu yang lama untuk bisa pulihkan kembali. Padahal hutan dan terumbu karang inilah yang dapat menyelamatkan kita dari dampak pemanasan global yang dapat menenggelamkan pulau kita.  

Semoga momentum pergantian tahun 2012 ini, mampu kita maknai dengan sikap mengintropeksi diri agar lebih bijak dengan selalu melihat banyak aspek yang dihasilkan dari segala aktivitas pengelolaan bumi ini, mengingat Propinsi Sulawesi Tenggara juga tergolong propinsi kepulauan. Ketika pohon terakhir ditebang, ketika sungai terakhir kering, ketika ikan terakhir ditangkap, manusia akan sadar bahwa uang tidak bias dimakan… 

Dimuat dalam koran lokal Kendari  Pos, Sabtu, 22 Desember 2012